Tentang Suamiku

February 23, 2018


Namanya Fahrian. Kupanggil beliau Kakang atau Yayah, karena alhamdulillah kami akan segera dikaruniai buah hati pertama kami. Setahun pertama pernikahan kami lewati dengan berbagai rasa. Meskipun sebelumnya kami telah menjalani hubungan pacaran selama hampir 3 tahun, banyak sekali hal yang kami pelajari dari satu sama lain maupun diri kami sendiri.

Dari awal pernikahan,  segera memiliki anak adalah sesuatu yang sangat kami inginkan. Tapi ternyata kami harus menunggu 13 bulan sampai akhirnya aku diberikan kesempatan hamil oleh Allah. Masa menunggu kami berwarna-warni. Ada kalanya aku ikhlas dan yakin, jika sudah tiba waktunya, Allah pasti akan kasih. Tapi adapula saat dimana aku terus-terusan menangis ketika tamu bulanan lagi-lagi mampir seolah berkata, "belum waktunya".

Ketika saat seperti itu datang, Kakang adalah peran terpenting dalam mengobatiku. Dengan bijaknya beliau tetap sabar, menenangkanku, meyakinkan bahwa Allah Maha Pengatur dan Pemberi Rezeki yang Adil. Tidak lupa juga beliau mengingatkan untuk saling introspeksi, mungkin belum dikasih karena kami masih kurang dalam banyak hal.

Satu yang kadang aku lupa waktu itu, kami adalah dua orang. Aku dengan egoisnya menangisi bahkan mengeluhkan keadaan tanpa ingat, mungkin sesekali, Ia pula lah yang ingin aku beri perhatian. Mungkin dalam benaknya, beliau lah yang merasa bersalah. Siapa tahu dalam hatinya, pernah juga meringis ingin aku tenangi, hanya saja tak pernah Ia tunjukkan sejujurnya.

Kakang bukan orang yang ekspresif seperti aku. Beliau tak suka keramaian dan berkumpul dengan banyak orang, lebih banyak waktu dengan HPnya. Kadang aku mengeluhkan hal ini. Kenapa saat orang lain bercengkrama, suamiku asyik sendiri dengan dunianya. Tak jarang kami selisih paham membahas bahwa aku kurang suka.

Tapi, lagi-lagi aku lupa. Dia punya alasan mengapa Ia tak suka kerumunan. Masa kecilnya seringkali Ia habiskan sendirian. Cerita di balik masa kecilnya banyak mempengaruhi hidupnya sekarang. Setelah mengingat, aku yang bersyukur dia berhasil melewati masa itu tidak dengan hal yang negatif.

Kakang juga bukan laki-laki 'tukang ngoprek' seperti McGyver yang serba bisa. Ada kalanya aku kesal jika ada sesuatu rusak di rumah tapi tak segera Ia perbaiki. Tapi tanpa ku ketahui, beliau ternyata tidak diam saja. Ia membetulkannya dengan caranya sendiri. Ujung-ujungnya aku yang malu karena sudah mengomel.

Seperti tengah malam tadi. Saluran wastafel cuci piring mampet, sudah berkali dikorek tapi tak membaik. Aku kesal karena harus menunggu weekend untuk diservis, sedangkan airnya sudah menggenang. Yikes, jorok sekali! Kemudian aku tidur saja.

 Tapi tahu-tahu, aku mendengar suara agak berisik dalam tidurku. Ternyata beliau sedang mengepel dapur yang banjir akibat pipa mampet yang Ia perbaiki. Tubuhnya penuh keringat malam-malam, wastafel sudah tak mampet lagi. Lagi-lagi aku malu karena sudah mengomel. Suamiku ternyata penuh kejutan.

Menjalani pernikahan pun sama, banyak sekali kejutan tak terduga. Bagaimana aku menghadapinya sejauh ini, mudah-mudahan tidak mengecewakan.
 
Kita tidak bisa memaksa merubah apa yang sudah menjadi kebiasaan. Jikapun berubah, tentunya seksama dan dengan keinginan si pemilik kebiasaan. Kita juga tidak bisa mengharapkan semua sesuai dengan apa yang kita rangkai. Karena walaupun berbeda, ternyata hasilnya sering sekali lebih baik.

Terimakasih, Suamiku. Aku belajar dan bersyukur sangat banyak hari ini :)


Love,

Echa dan Adek yang lagi senang nendang

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images